Sistim Penilaian Otentik Tentang Kemajuan
Belajar Kimia Siswa di SMP Dan SMA
Terjadinya perubahan kurikulum 2006 menjadi kurikulum 2013
mengubah penggunaan istilah penilaian. Istilah penilaian berbasis kelas (PBK)
seperti yang dinyatakan oleh BNSP (2006) tidak lagi digunakan dalam kurikulum
2013. Dalam kurikulum 2013, ada tiga fokus pengembangan kurikulum, yaitu
standar kompetensi lulusan, standar proses dan standar penilaian.
Permendikbud No.66 tahun 2013 mendeskripsikan adanya
empat elemen perubahan dalam standar penilaian pendidikan, yaitu: 1)
Penilaian berbasis kompetensi; 2) Pergeseran dari penilaian melalui tes
(mengukur kompetensi pengetahuan berdasarkan hasil saja) menuju penilaian
otentik (mengukur kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan
proses dan hasil); 3) Penilaian tidak hanya pada level KD (kompetensi dasar),
tetapi juga kompetensi inti dan SKL (standar kompetensi lulusan); 4) Mendorong
pemanfaatan portofolio yang dibuat siswa sebagai instrumen utama penilaian dan
penilaian mandiri oleh siswa.
Bila dicermati empat elemen perubahan dalam standar
penilaian pendidikan pada kurikulum 2013 di atas tetap memiliki esensi yang
sama dalam hal makna, tujuan dan fungsi sebagaimana yang dijelaskan dalam
kurikulum 2006.
Berikut ini paparan yang disarikan dari Balitbang
Depdiknas (2006) mengenai penilaian berbasis kelas atau penilaian kelas yang
dianjurkan untuk diterapkan baik di tingkat pendidikan dasar maupun menengah :
1)
Dalam penilaian berbasis kelas, pengumpulan data sebagai informasi kemajuan
belajar baik formal maupun informal harus selalu dilaksanakan dalam
suasana yang menyenangkan. Hal ini memungkinkan adanya kesempatan yang
terbaik bagi siswa untuk menunjukkan apa yang dipahami dan mampu dikerjakannya.
2)
Hasil belajar yang dicapai oleh siswa tidak untuk dibandingkan dengan hasil
belajar siswa lain ataupun prestasi kelompok, tetapi dengan prestasi atau
kemampuan yang dimiliki sebelumnya; atau dengan
kompetensi yang dipersyaratkan. Dengan demikian siswa
tidak terdiskriminasi dalam klasifikasi lulus atau tidak lulus,
pintar atau bodoh, bisa masuk ranking berapa, dan sebagainya, tetapi
lebih diarahkan pada fungsi motivasi, dan bantuan agar siswa dapat mencapai
kompetensi yang dipersyaratkan.
3)
Pengumpulan informasi harus dilakukan dengan menggunakan
berbagai cara penilaian, dilakukan secara berkesinambungan sehingga gambaran
kemampuan siswa dapat lebih lengkap terdeteksi, dan terpotret secara akurat.
4)
Dalam pelaksanaannya siswa tidak sekedar
dilatih memilih jawaban yang tersedia, tetapi lebih
dituntut untuk dapat mengeksplorasi dan memotivasi diri untuk mengerahkan
potensinya dalam menanggapi dan memecahkan masalah
yang dihadapi dengan caranya sendiri dan
sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
5)
Proses pengumpulan informasi secara terencana, bertahap, dan
berkesinambungan, agar dapat ditentukan ada tidaknya kemajuan
belajar yang dicapai siswa dan perlu tidaknya siswa diberikan bantuan.
Dengan demikian siswa diberi kesempatan memperbaiki prestasi
belajarnya, dengan pemberian bantuan dan bimbingan yang sesuai.
6)
Penilaian dilaksanakan ketika proses belajar mengajar (PBM)
sedang berlangsung (penilaian proses) dan setelah PBM.
Hasil kerja atau karya siswa dikumpulkan dalam portofolio. Karya tersebut dapat juga
bersumber dari PBM atau berasal dari berbagai kegiatan ekstrakurikuler,
kegiatan sekolah, kegiatan OSIS, kegiatan lomba antar sekolah, bahkan
kegiatan hobi pribadi. Dengan demikian,
penilaian kelas mengurangi dikhotomi antara PBM dan kegiatan penilaian
serta antara kegiatan intrakurikuler dan kegiatan kokurikuler dan
ekstrakurikuler.
7)
Kriteria penilaian karya siswa dapat dibahas, dikompromikan antara guru dengan
para siswa sebelum karya
itu mulai dikerjakan. Dengan demikian
siswa mengetahui kriteria yang akan
digunakan dalam penilaian, agar berusaha mencapai harapan (expectations)
(standar yang dituntut) guru, dan mendorong siswa untuk
mengarahkan karya-karyanya sesuai dengan kriteria
yang telah disepakati.
Namun rincian target dan teknik
penilaiannya tidak spesifik dan operasional sebagaimana yng dinyatakan dalam
Permendikbud No.66 tahun 2013, yaitu target penilaian
proses dan hasil belajar mencakup kompetensi sikap, keterampilan dan
pengetahuan dengan mengacu pada SKL, KI dan KD yang dideskripsikan dalam setiap
jenjang pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA). Oleh karena itu jenis penilaian
yang digunakan adalah penilaian
otentik.
Meskipun demikian, munculnya istilah penilaian
otentik bukanlah hal yang baru. Pada awalnya istilah tersebut
diperkenalkan oleh Wiggins tahun 1990 sebagai bentuk ketidak puasan terhadap
bentuk tes yang dinamakan “paper and pencil test”, yaitu bentuk penilaian yang
sangat umum digunakan di sekolah .. mengisi titik-titik, tes tertulis,
pilihan ganda, kuis jawaban singkat., karena penilaian seperti itu tidak akan
menunjukkan kemampuan sebenarnya dari siswa, Jadi dikatakan otentik dalam
arti penilaian kemampuan siswa yang sesungguhnya dan realistis berdasarkan
unjuk kerja/demonstrasi langsung langsung tentang penerapan pengetahuan dan
keterampilannya.
Menurut Jon Mueller (2006), penilaian otentik merupakan
suatu bentuk penilaian yang para siswanya diminta untuk menampilkan tugas pada
situasi yang sesungguhnya yang mendemonstrasikan penerapan keterampilan dan
pengetahuan esensial yang bermakna. Oleh karena itu penilaian otentik
lebih sering dinyatakan sebagai penilaian berbasis kinerja (performance
based assessment) atau penilaian kinerja (performance assessment).
Hal itu diperkuat oleh Stiggins (1994) (2006) bahwa penilaian otentik sinonim
dengan penilaian kinerja (performance assessment).
Namun Meyer
(1992) dan Marzano (1993) membedakan penggunaan kedua istilah tersebut, karena
penilaian otentik harus dilakukan pada situasi yang nyata (pada proses
belajar), sedangkan penilaian kinerja bisa saja dilakukan pada konteks yang
diciptakan sengaja untuk mengukur keterampilan tersebut (misalnya : setelah
proses belajar).
Penilaian otentik sering juga disebut sebagai alternative assessment digunakan karena merupakan
alternatif dari penilaian yang biasa digunakan (traditional assessment).
Beberapa ahli menyebutnya sebagai direct assessment, karena penilaian otentik
menyediakan lebih banyak bukti langsung dari penerapan keterampilan dan
pengetahuan. Ini berbeda dengan seorang siswa dapat mengerjakan dengan
baik tes pilihan ganda, maka secara tidak langsung (indirectly), siswa
tersebut dapat menerapkan pengetahuan yang telah dipelajarinya dalam konteks
dunia yang sesungguhnya.
Penilaian otentik dapat menilai target-target belajar
berikut
1)
Penalaran: Target penalaran dan keterampilan memecahkan masalah dapat dinilai
dengan penilaian kinerja melalui pemberian masalah yang kompleks yang
harus dipecahkan siswa. Siswa harus terlibat dalam berfikir dan proses
penalaran yang melibatkan beberapa langkah.
2)
Keterampilan: Kekuatan penilaian kinerja adalah kemampuannya untuk menilai
siswa dalam mempertunjukkan keterampilan-keterampilan tertentu: Aktivitas yang
ditampilkan siswa dapat dijadikan target asesmen seperti keterampilan
berkomunikasi ataupun keterampilan manual siswa
3)
Produk: Kekuatan lain dari penilaian kinerja adalah untuk menilai pencapaian
daya cipta siswa yang berhubungan dengan produk. Kualitas produk menunjukkan
hasil kinerja siswa berdasarkan standar tertentu. Produk dapat berupa paper,
laporan penelitian, bentuk kerajinan dan produk-produk dari suatu keterampilan.
4)
Afektif : Aspek afektif seperti sikap, nilai, minat, motivasi, pilihan, dan
konsep diri didasarkan pada tindakan siswa atau apa yang kita lihat pada produk
yang diciptakan siswa, maka dari itu penilaian kinerja dapat digunakan pula
untuk menilai aspek-aspek afektif.
Dalam menggunakan penilaian kinerja terdapat asumsi pokok
yang harus diyakini guru, yaitu: 1) Partisipasi aktif siswa; 2) Tugas merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan proses pembelajaran; 3)
Penilaian dilakukan untuk memperbaiki proses pembelajaran; 4) siswa turut
berupaya dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Penilaian otentik yang dimaksud dalam kurikulum 2013
meliputi kombinasi berbagai jenis penilaian, yaitu: penilaian sikap
dan kinerja/keterampilan siswa melalui pengamatan (menggunakan lembar
pengamatan), penilaian sikap melalui penilaian diri dan penilaian antar
teman,penilaian melalui tugas-tugas (task) yang diberikan pada proses dan
setelah pembelajaran, tes tertulis dan lisan serta penilaian portofolio.
Dengan demikian, berbagai jenis penilaian yang diuraikan
di atas, dalam penilaian proses dan hasil belajar dilakukan secara komplementer
(saling melengkapi) sesuai dengan kompetensi yang dinilai. Tujuan penggunaan
berbagai jenis penilain tersebut tak lain adalah agar mendapatkan gambaran yang
faktual mengenai kompetensi siswa, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber data
yang akurat dan valid dalam pengambilan keputusan pendidikan.
Permasalahan : pada
penjelasan diatas yang mana menjelaskan penilaian otentik dapat menilai
target-target belajar seperti penalaran, keterampilan, produk dan afektif. Bagamana
jika dari 4 target penilaian tersebut salah satunya tidak terlaksana dengan
baik oleh siswa?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusjadi siswa harus memiliki target- target belajar seperti penalaran, keterampilan, produk dan afektif
HapusSaya juga sependapat dengn sdri yulia dimana dalam penilaian otentik semua aspek merupakan komponen dalam penilaian otentik, nah jika salah satu komponen tsb tidak dilakukan maka akan mempngaruhi aspek yg lainnya,karena kompnen yg sdru sebutkan mwrupakan runut kesatuan dalam penilaian otentik.
BalasHapusDsini saya mau kmbali bertnya apakah penilaian otentik ini sdh memnerikan progres positif ketika diterapkan d sekolah dg sstem k13
menurut saya sudah, karena di k'13 siswa harus memiliki target-target belajar seperti penalaran, keterampilan, produk dan afektif
Hapus